+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

SEPIRING SAYUR

SEPIRING SAYUR

Saudaraku, dalam buku My Country My People (吾國與吾民) yang ditulis oleh Lin Yutang pada tahun 1935, salah satunya mengetengahkan cara duduk saat ada perjamuan makan. Meja makan bentuk bundar, tuan rumah atau bos duduk menghadap pintu masuk. Tamu kehormatan pertama duduk di sebelah kanan bos, tamu kedua duduk di sebelah kiri, persis di depannya harus duduk manajer tertinggi dan wakilnya duduk di sebelah kanannya.

Saat membaca buku tersebut aku berpikir apakah benar ada. Eh ternyata saat menghadiri jamuan makan di Qingdao sekitar 15 tahun lalu Pimpinan suatu pabrik besar mengatur kami berdua dari Indonesia sesuai aturan di atas. Aku sampaikan pengalaman tersebut ke Pimpinan: “Wah kami duduknya seperti di zaman Shu Han (221 M), duduk di Tengah adalah Kaisar Liu Bei, di kanannya Guan Yu dan di kirinya Zhang Fei.” Pimpinan tertawa, kemudian berkata: “Ya betul, rupanya tamunya juga memahami aturan duduk dalam jamuan sejak Samkok dulu.”

Dua hari kemudian Pemimpin mengundang segenap agennya untuk dinner party, satu meja bisa 16 orang. Ada 6 meja, posisi duduk segenap tamu juga diatur sesuai tata krama. Di meja kami 16 orang ternyata bisa minum bir hingga 32 botol dan red wine 8 botol. Tidak ada yang mabuk, tiap gelas kosong pasti dituang oleh pelayan. Jika tidak mau minum bir atau wine lagi, maka kita menuangkan kuah sup ke dalam gelas, dan pelayan tahu bahwa tamu tidak ingin minum wine lagi. Di sepanjang jamuan dengan masakan lebih dari 12 macam per meja segenap tamu bersukaria, semua merasa dekat, satu semangat untuk menjadi dealer yang baik, tidak ada rasa persaingan meskipun lokasi usahanya mungkin berdekatan di satu kota.

Jadi saat aku membaca Amsal 15:17: “Lebih baik SEPIRING SAYUR dengan kasih dari pada lembu tambun dengan kebencian”. Aku merasa sepertinya kok aneh karena saat ada jamuan makan mestinya ada suasana kasih dan bukan kebencian. Tapi setelah membaca kisah di 1 Samuel 20: 24-34 barulah aku  paham. 

Raja Saul yang sudah dengki kepada Daud mengundang segenap panglimanya untuk jamuan makan pada saat tanggal 1 bulan baru, tapi tempat duduk Daud kosong, Saul berpikir mungkin Daud sedang tidak tahir atau sakit. 

Jamuan kedua esok harinya ternyata Daud tidak hadir juga, dan Saul bertanya kepada anaknya, Yonatan: “Kemana perginya Daud?”. Yonatan menjawab bahwa Daud minta izin untuk pulang ke Bethlehem. Lalu Saul pun marah besar. “Anak sundal yang kurang ajar! Bukankah aku tahu, bahwa engkau telah memilih pihak anak Isai dan itu noda bagi kau sendiri dan bagi perut ibumu?” 

Yonatan menjawab lagi, tapi Saul bahkan melemparkan tombaknya ke Yonatan, tidak kena, dan Yonatan pergi dari acara dinner dengan marah. Alkitab tidak mencatat suasana dinner selanjutnya, apakah Saul membanting piring dan panglima-panglima lainnya langsung bubaran. Jadi Saul meskipun mengadakan dinner dengan menu mewah sebenarnya ingin membunuh Daud. Hatinya dipenuhi dengan kebencian.

Kisah lain di Alkitab (2 Samuel 17) saat Daud mengungsi ke Mahanaim menghindari Absalom yang memberontak, ada seorang sepuh yang kaya bernama Barzilai segera melayani rombongan Daud dan rakyatnya, meskipun ini mendadak, Barzilai dan rekan-rekannya sekuat tenaga menyiapkan tempat tidur, berbagai bahan makanan lengkap dengan alat-alat dapur untuk melayani rombongan yang lelah, haus dan kelaparan karena melintasi padang gurun. Dalam rombongan pengungsian Daud nampaknya istrinya Batsyeba dan Salomo anaknya ikut serta dan menikmati layanan yang tulus dari Barzilai. 

Saudaraku, saat Daud hendak meninggal, juga mengingatkan Salomo untuk tetap berbuat baik kepada keluarga Barzilai, dan mungkin Daud juga bercerita bagaimana dia dulu pernah diperlakukan oleh Saul yang tidak tulus dalam mengadakan jamuan makan.

Itulah mengapa kemudian Salomo menuliskan  Amsal 16:15-33, khususnya ayat 17.  Salomo mengajarkan kepada kita untuk memiliki hikmat dalam hal kelimpahan materi atau harta kekayaan yang kita punyai, bukan berfokus pada jumlah materi, melainkan pada sikap hati kita. Meskipun sederhana, memiliki sikap hati yang takut akan Tuhan jauh lebih baik dibandingkan memiliki banyak harta tetapi disertai kecemasan dan kebencian (Ayat 16-17). Orang yang bijak di dalam Tuhan dipenuhi kesabaran, kejujuran, ketekunan, dan senantiasa menggunakan akal budinya untuk melakukan kehendak Allah (Ayat 18-24). Hatinya mengarah kepada Allah dan kebenaran-Nya (Ayat 25-33).

Pengejaran akan materi dan kesuksesan hidup tanpa disadari dapat mengikis kedamaian dalam hidup kita. Tidak heran, kita SELALU MERASA KURANG  dalam MERAIH PENCAPAIAN HIDUP  di dunia ini. Rasa cemas, takut, dan khawatir perlahan-lahan mengalahkan kedamaian di dalam hati dan hidup kita. Kita mulai khawatir saat hasil pekerjaan kita tidak memenuhi standar kesuksesan hidup di dunia ini. Kita takut direndahkan, kita takut menjadi miskin, dan kita takut ditolak oleh dunia ini. Semua itu tanpa sadar membuat kita kehilangan kedamaian, bahkan tak menutup kemungkinan kita kehilangan kemuliaan Allah.

Saudaraku, kedamaian hidup tidak dapat dibeli dengan harta kekayaan, berapa pun jumlahnya! Kedamaian sejati hanya terletak pada hati yang takut akan Tuhan. Percayalah dan takutlah akan Allah, Dia akan memenuhi hatimu dan hidupmu! (Surhert).

Leave a Reply