+62 24 8312162

Hot Line Number

+62 24 8446048

Fax

Jl. Sompok Lama no. 62c Semarang

Kantor Pusat

STRATEGI PELAYANAN ANAK-ANAK KOS

STRATEGI PELAYANAN ANAK-ANAK KOS

oleh : Simon Nugroho

Pendahuluan

Seorang misionari yang bekerja di Amerika Selatan menulis sebuah artikel, dia mengungkapkan ketidaksetujuannya pada strategi perkembangan gereja. Gereja tidak perlu membuat strategi pelayanan, cukup berjalan dengan bergantung pada Roh Kudus. Misionari itu bahkan mengatakan: “Teori tentang Pertumbuhan Gereja membatasi kemahakuasaan Allah dan menghalangi Roh Kudus untuk bekerja dengan leluasa”. (Peter Wagner, Strateqi Perkembangan Gereja, Gandum Mas, Malang, 1996, hal. 6.)

Dr. Peter Wagner, pengarang buku di atas, tidak menyetujui pendapat tersebut, ia mengatakan bahwa manusia diciptakan Tuhan berbeda dengan binatang. Manusia mempunyai akal budi, binatang tidak. Akal budi adalah karunia Tuhan. Mazmur 32:9 mengatakan, “Jangan seperti kuda atau bagal yang tidak berakal”. la juga berkata :”Dengan menggunakan segenap akal budi kita dalam melakukan penginjilan, prakasa manusia bersatu dengan kehendak Ilahi. Selama hamba-hamba Tuhan mempunyai hubungan yang benar dengan Tuhan, mereka bebas untuk merencanakan strategi, sambil menggunakan metode dan tehnik penginjilan yang dianggap tepat dalam melakukan pekerjaan Tuhan..”. (Ibid, hal. 11-12)

Anak-anak kos di jalan dr. Cipto 44 (pav.) Semarang sependapat dengan teori Dr. Peter Wagner. Dalam melaksanakan “Amanat Agung” Tuhan Yesus, mereka menerapkan strategi-strategi tertentu. Mereka bergantung pada Roh Kudus, namun juga memakai akal budinya. Strategi yang diterapkan ternyata diberkati Tuhan, sudah 35 tahun melayani, dan ternyata pelayanan itu berkembang dan berbuah-buah.

Anak-anak Kos dan Visinya

Siapakah yang disebut anak-anak kos itu? Mereka adalah pemuda pemudi Kristen yang waktu itu mengadakan persekutuan doa di rumah kos jalan dr. Cipto 44 (pav.) Semarang. Sebagian dari mereka berasal dari GKMI yang terbangun rohaninya akibat Bible Camp yang diadakan oleh gerejanya pada tahun 1955-1960-an; sebagian lagi non GKMI yang memang berjiwa misioner misalnya Padmawati anggota GKI dan Eliatha Suteja yang akhirnya menjadi pendeta di Gereja Isa Almasih di kota Surabaya.

Visi anak-anak muda ini sangat jelas, yaitu melaksanakan “Amanat Agung” selagi ada kesempatan. Pemuda pemudi Kristen yang bersekutu di rumah kos itu sangat giat melayani Tuhan. Sebuah tim vokal grup terbentuk dan diberi nama : All For Christ”. Tuhan memakai kesaksian serta lagu-lagu yang dinyanyikan mereka untuk membawa beberapa orang kepada-Nya. Namun terasa kurang cukup, mereka ingin menjangkau daerah pelayanan yang lebih luas dan lebih luas lagi. “Apa yang harus kami lakukan?”, tanya mereka kepada Tuhan. Tercatat demikian:

“Dalam bulan Agustus 1968, Tuhan memberikan inspirasi kepada kelompok doa pemuda pemudi di JIn. dr. Cipto 44 (pav). Semarang yang sedang mencari kehendak Tuhan. Bagaimana dapat memberitakan Firman Tuhan kepada khalayak banyak yang dapat izin pemerintah. Seorang anggota persekutuan mengajukan pertanyaan: :bagaimana kalau kita membangun radio siaran?” Pertanyaan itu kemudian didiskusikan dan didoakan untuk meminta kepastian dari Tuhan”. (Jikalau Bukan Tuhan, Buku HUT 25 Radio Siaran lchthus, 1994, hal. 25)

Mukjizat terjadi di kalangan mereka. Dalam waktu dua minggu kelompok doa ini mendapat jawaban dari Tuhan; ada seorang asal Surabaya ingin menjual seperangkat alat pemancar radio seharga Rp. 60.000,- yang lengkap berikut jasa pemasangannya; apalagi pembayarannya boleh diangsur. Tuhan bekerja luar biasa, sehingga dalam bulan September, tepatnya tanggal 28 tahun 1968, mengudaralah untuk pertama kalinya siaran radio baru di kota Semarang dengan gelombang 100 meter yang diberi nama ALPHA-OMEGA. Beberapa waktu kemudian pengurus mengganti nama ALPHA-OMEGA menjadi ICHTHUS. (Ibid, hal. 25) Setelah berdirinya Radio Siaran lchthus, pelayanan kelompok doa ini tetap berlanjut, bahkan kian meluas. Untuk lebih memantapkan serta mengarahkan kegiatan agar tidak terkesan liar, mereka sepakat untuk membentuk sebuah wadah baru guna menyalurkan visi mereka, yang juga merupakan strategi pelayanan ke depan. Andreas Christanday yang waktu itu baru saja pulang dari mengikuti International Visit Exchange Program dari MCC di Amerika merupakan motor pembentukan wadah ini. Tercatat yang hadir dalam rapat 11 Januari 1971 antara lain Soendjojo, Markus Hendra Kusuma, Chrismanto Jonathan, Agus Suwantoro, Christian Nugroho, Rina, Ang Giok Ing dan Padmawati. (Kenangan Perak, Buku HUT 25 Yayasan Christopherus, hal. 24)

Anak-anak Kos dan Strategi Pelayanannya

Kelompok doa anak-anak kos itu memutuskan memakai strategi pelayanan dengan tiga pilar yaitu: berwadahkan yayasan, bersifat interdenominasi dan pelayanan yang holistik.

Pilar pertama, berwadahkan Yayasan.

Kita mengenal lembaga gereja, lalu apakah “Yayasan Kristen” itu? Yayasan Kristen disebut “para­gereja”. Secara harafiah, “para-gereja” berarti “di samping gereja”, karena kata “para” adalah kata depan bahasa Yunani yang berarti : di dekat, di samping, dari samping, berjajar dengan dan berdekatan dengan. (Charles Christano, Hubungan Yang Serasi Antara Gereja dan Organisasi Para­ Gereja, dalam Sebuah Bunga Rampai Pertumbuhan Gereja, Yayasan Andi, Yogya, 1999, hal. 132)

Definisi Yayasan Kristen adalah: “suatu lembaga Kristiani yang memiliki sifat nirlaba, beranggotakan orang-orang Kristen yang bekerja bersama-sama di luar kontrol denominasi, untuk mencapai tujuan pelayanan tertentu”. (Charles Christano, ibid, hal. 132). Sedang Jerry White mendefinisikannya sebagai: “Setiap bentuk pelayanan rohani yang organisasinya tidak diatur atau tidak di bawah otoritas suatu jemaat lokal”. (Jerry White, Gereja dan Yayasan Penginjilan, Gandum Mas, Malang, hal. 23)

Keuntungan berwadahkan Yayasan Penginjilan adalah birokrasi ketat yang biasanya terdapat dalam organisasi gereja dapat dihilangkan. Menjamurnya yayasan PI memerlihatkan banyaknya orang Kristen yang merasa terhambat visinya dalam melayani Tuhan oleh sebab ketatnya birokrasi di dalam gereja. Seorang tokoh yayasan mengatakan dalam karangannya : “gereja terlalu kaku berorganisasi dan kurang memberi kebebasan Roh Kudus untuk bekerja”. (Andreas Christanday, Majalah Cresendo, nomor 298, Semarang, hal. 25)

Struktur gereja disebut struktur modalitas, yang mementingkan penggembalaan bagi jemaatnya. Struktur ini biasanya digambarkan dengan sebuah rumah tempat bernaung bagi anggota keluarga. Keakraban, persatuan, kerukunan dan pengambilan keputusan berdasarkan musyawarah menjadi prioritas di dalam gereja; hal inilah yang menjadikan birokrasi dalam gereja ketat dan kadang-kadang berbelit-belit.

Berbeda dengan gereja, struktur Yayasan Penginjilan disebut struktur sodalitas. Struktur ini berorientasi pada penyelesaian tugas; biasanya digambarkan dengan sebuah mobil truk yang siap dipakai bekerja. Birokrasi dalam tubuh yayasan PI biasanya kendor; kadang-kadang keputusan diambil hanya dengan penggunaan telepon antar sesama pengurus. Yayasan tidak mempunyai anggota jemaat yang harus digembalakan. Sasaran utama adalah merealisasi visi.

Keuntungan lain memakai wadah yayasan adalah pelayanan menjadi terfokus. Gereja Tuhan mempunyai tiga panggilan utama, yaitu persekutuan, pelayanan dan kesaksian. (ada anggapan “pengajaran” sebagai panggilan keempat; ada yang menganggap dalam persekutuan ada pengajaran) Namun disebabkan kompleksnya kehidupan jemaat, maka panggilan persekutuan dan pelayanan lebih diprioritaskan dalam gereja. Pelayanan pastoral menjadi pelayanan utama. Pdt. Charles Christano mengatakan : “Pelayanan gereja dapat disimpulkan sebagai pelayanan pastoral dalam arti yang seluas-luasnya. (Charles Christano, ibid, hal 135)

Yayasan Penginjilan biasanya hanya terpanggil melaksanakan satu atau dua panggilan dari beberapa panggilan gereja. Sering ditemui yayasan yang mempunyai visi sangat tajam dan terfokus, misalnya pelayanan pada anak yatim piatu, pekabaran Injil melalui radio, dan lain-lain. Sebagai akibat melakukan pelayanan yang terfokus, pelayanan yayasan menjadi sangat efektif. Komitmen tinggi dan perhatian yang terkonsentrasi akan mendatangkan hasil maksimal.

Beberapa yayasan memang berubah visinya. Ada yang menjadi gereja, ada yang berorientasi pada bisnis, dan sebagainya. Jerry White mengingatkan, “Yayasan-yayasan PI itu akan menjadi tidak efektif apabila mereka berkompromi dengan visi mereka. Mereka perlu mengetahui apa sebabnya mereka itu ada, dan harus sanggup menyampaikan sasaran – sasaran mereka dengan jelas. (Jerry White, ibid, hal. 157)

Pilar kedua: bersifat interdenominasi.

Interdenominasi atau multi aliran dipakai kelompok ini sebagai salah satu strategi pelayanannya. Yayasan Kristen interdenominasi tidak akan berpihak pada suatu aliran gereja tertentu. Sifat interdenominasi yayasan seperti ini dianggap benar, dikatakan : “Para-gereja (Yayasan Kristen) yang benar dan murni harus Interdenominasional, atau malah lebih tepat disebut Nondenominasional”. (Charles Christano, ibid, hal. 132)

Dengan bersifat interdenominasi, tidak ada seorangpun dari anggota yayasan yang tersisih dan tertinggal, semuanya bisa berperan serta  ikut melayani. Dengan dukungan semakin banyak orang, yayasan akan menjadi semakin kuat. Dalam perkembangannya, yayasan mudah mencari pendukung dan pengurus baru yang mempunyai visi sama. Tak ada batasan dan hambatan denominasi.

Strategi ini juga memungkinkan mereka bekerja sama dengan banyak gereja, atau bahkan dengan semua gereja. Dengan status interdenominasi diharapkan fungsi yayasan akan maksimal, akan menjadi berkat bagi sebanyak mungkin gereja.

Perdebatan kredo atau pengakuan iman dapat diredam agar pelayanan maksimal. Kredo yang dipegang adalah kredo yang hakiki, atau pokok-pokoknya saja. Perbedaan kredo sering menyebabkan gereja-gereja tidak dapat bersatu mengabarkan Injil Kristus. Kekuatan gereja habis disedot untuk membentengi anggotanya agar tidak terpengaruh ajaran lain ataupun pindah gereja. Sangat menyedihkan, beberapa gereja harus terkoyak akibat perbedaan dalam penafsiran. Kuiper mengatakan: “Keretakan gereja amat menghambat kekuatan dan effek PI”. (A. De Kuiper, Missiologia, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1972, hal. 88)

Pilar ketiga,pelayanan yang holistik.

Yang dimaksud dengan pelayanan holistik adalah pelayanan menyeluruh, balk hal rohani maupun jasmani. Pelayanan ini tidak hanya memberitakan keselamatan jiwa saja, namun menolong penderitaan tubuh juga. Pada waktu Yesus Kristus masih di dunia, la melakukan misi pelayanan holistik. la mengabarkan berita keselamatan, mengusir setan; tetapi la juga memberi makan perut yang lapar, menyembuhkan orang sakit dan sebagainya.

“Misi holistik melihat bahwa penyelamatan manusia bersifat menyeluruh, yang meliputi semua aspek kehidupan: rohani-spiritual, mental-kepribadian, fisik dan sosial. Selaras dengan misi Kristus yang datang ke dunia, bukan hanya menyelamatkan manusia secara rohani saja, tetapi meliputi kehidupan secara menyeluruh”. (Yakub Tanuwidjaya,  Buletin

Optasia, GIA Pringgading, edisi 15, Juni 1999, hal.1)

Dua sisi pelayanan holistik, yaitu sisi pelayanan rohaniah dan sisi pelayanan sosial tidak dapat dipisahkan. Seperti sekeping mata uang yang mempunyai duasisi, demikian juga pelayanan holistik. Aksi ini akan menjadi berkat untuk sesama manusia secara utuh dan menyeluruh.

Sisi rohaniah adalah usaha usaha membawa manusia kepada Tuhan Yesus. Berita Injil harus disebarkan. Secara klasik G. Voetius merumuskan sisi rohaniah pelayanan Kristiani sebagai:

  1. Conversio gentilium; atau pertobatan orang-orang. lni tujuan utama.
  2. Plantatio ecclesiae: atau penanaman gereja. Di mana Injil diterima, lahirlah gereja.
  3. Gloria et manivestatio gratiae divinae; kemuliaan dan penampakan anugerah Ilahi. (A. De Kuiper, ibid, hal. 90)

Sisi sosial merupakan wujud dari pelaksanaan perintah Yesus agar kita mengasihi sesama kita, hal ini seperti orang Samaria yang menolong sesamanya yang sedang berada dalam kesusahan. Arthur Glasser menyebut sisi sosial ini sebagai sisi amanat budaya. (Peter Wagner. ibid. hal 85)

Ketiga pilar strategi pelayanan dipakai sejak awal oleh kelompok doa anak-anak kos dan ternyata tetap dipegang erat-erat oleh penerus kelompok itu. Masih tetap berwadahkan yayasan, masih bersifat interdenominasi serta masih melakukan pelayanan holistik.

Buah hasil strategi pelayanan

Siapa yang menyangka jikalau dari persekutuan doa di rumah kos Jalan dr. Cipto 44 (pav.) bisa berdiri sebuah pemancar radio dan sebuah yayasan Kristen. Mungkin juga tidak pernah ada pemuda pemudi anggota kelompok doa itu yang membayangkan bahwa strategi pelayanan mereka diberkati Tuhan seperti sekarang ini. Pemancar radio yang mereka dirikan adalah Radio Ichthus, sedangkan Yayasan yang mereka dirikan 35 tahun yang lalu adalah Yayasan Christopherus, dimana Christopherus mempunyai arti mendukung Kristus.

Pada tanggal 3 Mei 1972 resmilah berdiri Yayasan Christopherus, dengan ditandatanganinya akta pendirian di depan notaris Rusbandy Yahya SH. Susunan pengurus pertama pada waktu itu adalah:

Ketua 1         :        Adi Sutjipto
Ketua 2:                Agus Suwantoro
Sekretaris:            Markus Hendra Kusuma
Benndahara:        Soendjojo
Anggota:               Timotius Gunawan
Atno Stepanas
Fulltimer:             Andreas Christanday (Buku HUT 25 Christopherus, hal, 25)

Yayasan Christopherus Semarang tidak didirikan oleh orang-orang kaya yang bermodal besar. Yayasan ini didirikan oleh pemuda pemudi kristen yang kebanyakan dari mereka adalah pelajar dan mahasiswa yang tidak mempunyai penghasilan sendiri sehingga belum mapan. Persembahan awal yang menjadi modal bagi pendirian yayasan ini hanya terkumpul sebesar Rp. 43.500,- (Adi Sutjipto, Panggilan Yang Tidak Pemah Berubah, Buku HUT 25 Yayasan Christopherus Semarang, hal. 20)

Modal awal sebesar itu sangat kecil nilainya, tidak cukup untuk menyewa sebuah rumah sebagai kantor yayasan yang juga sebagai tempat tinggal fulltimer. Baru awal tahun 1973 pengurus yayasan mempunyai Dana untuk menyewa sebuah rumah di jalan Pringgading Dalam/Utara Semarang yang diperuntukan sebagai tempat tinggal fulltimer serta kantor yayasan. Rumah yang disewa itu merupakan rumah sederhana yang berdinding papan; bekas rumah perjudian dan pelacuran, sehingga murah harganya.

Strategi pelayanan dengan tiga pilar yang dipakai Yayasan Christopherus ternyata diberkati Tuhan. Yayasan ini berkembang di Semarang, di Kudus bahkan sampai ke Tumbang Marikoi di Kalimantan Tengah. Berkembang dalam aset dan kepemilikan, tapi yang terpenting berkembang juga dalam jenis pelayanan.

Di Semarang, Yayasan Christopherus mempunyai sebuah kantor sendiri berlantai dua di jalan Sompok Lama 62 C Semarang, di mana di dalamnya terdapat Sekolah Musik Gerejawi dan Studio Audio Visual; bangunan panti asuhan dan sebuah kapel di jalan Karangrejo Timur 11I/7 serta peralatan pelayanan yang cukup lengkap. Jikalau semula Yayasan Christopherus Semarang hanya melayani pemberitaan Firman Tuhan dan kelompok vokal, sekarang bidang pelayanan bertambah banyak, misalkan:

  1. Pelayanan Firman; khotbah, seminar, kursus, ceramahpceramah serta pelayanan lain.
  2. Persekutuan Biji Sesawi (PBS); aktivitasnya yaitu menghimpun dana untuk menunjang calon dan hamba Tuhan penuh waktu serta mendukung guru-guru agama Kristen di SD negeri.
  3. Pendidikan Musik Gerejawi, dengan kursus musik Kristen dan Chistopherus Music Ministrynya (CMM).
  4. Pelayanan Diakonia, dengan panti asuhannya serta beasiswa untuk murid-murid sekolah.
  5. Kelompok sisterhood (persaudarian Kristen)
  6. Pelayanan Media. Tiga kegiatan pokok departemen ini sekarang adalah: Production House untuk pembuatan film/sinetron Kristen, Video Layar Lebar untuk penayangan film Kristen dan Terang 2000 untuk pendistribusian VCD kristen.

Di kota Kudus, Christopherus juga sangat berkembang dan diberkati Tuhan. Api penginjilan serta pelayanan menyala dengan kuat. Saat artikel ini ditulis, Christopherus cabang Kudus sedang berupaya untuk mempunyai tempat sendiri yang rencananya akan dipakai untuk sekretariat, tempat tinggal hamba Tuhan penuh waktu, dan sekolah musik. Doakan dan dukunglah kerinduan mereka ini.

Di Tumbang Marikoi, Christopherus juga berhasil mendirikan cabang pelayanan. Tumbang Marikoi adalah nama sebuah desa yang sangat kecil ditepi sungai Kahayan di Kalimantan Tengah. Nama desa ini tidak tertulis di peta Indonesia, karena memang sangat terpencil. Tidak ada listrik, telpon, koran serta belum ada hubungan transport darat dengan Palangkaraya, ibu kota Kalimantan Tengah. Di kalangan saudara-saudara suku Dayak, Christopherus melayani dengan mendirikan Taman Kanak-kanak, poliklinik yang baru saja diajak bekerja sama dengan pemerintah setempat sehingga ditingkatkan menjadi puskesmas Kristen serta pelbagai pelayanan di GKE setempat. Disini Christopherus terpaksa membangun helipad atau landasan helikopter, karena agar transportasi bisa cepat harus disewa helikopter untuk menerbangkan orang maupun barang dari dan ke Palangkaraya.

Penutup

Betapa cepatnya perjalanan waktu. Sejak didirikiannya pada tanggal 3 Mei 1972, Yayasan Christopherus telah berusia 35 tahun. Selama itu strategi yang dipakai ternyata dapat mendukung dan mengembangan pelayanan. Yayasan Christopherus sampai sekarang tetap eksis bahkan terus bertumbuh, berkembang dan berbiak.

Namun disadari, bahwa semua hasil perkembangan pelayanan itu hanyalah semata-mata anugerah dan pertolongan Tuhan. Betapapun hebatnya stategi manusia, apabila Tuhan tidak memberkati, semuanya sia-sia belaka. Yayasan Christopherus yang melakukan pelayanan holistik serta ingin menjadi berkat bagi banyak gereja disebabkan sifatnya yang interdenominasi memerlukan banyak dana; padahal sebagai yayasan nirlaba, Christopherus tidak mempunyai jemaat yang rutin memberikan persembahan persepuluhan ataupun kolekte. Sangat benarlah Mazmur 127: 1 yang mengatakan : “Jikalau bukan Tuhan yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan Tuhan yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga”.

Juga diinsyafi bahwa perkembangan yayasan Christopherus di Semarang, di Kudus dan di Tumbang Marikoi selama 35 tahun ini bukanlah hasil kerja satu atau dua orang saja, tetapi hasil dari banyak orang. Hasil dari orang yang terlihat, tapi juga yang mendukung dari belakang. Hasil dari yang memimpin, tapi juga dari yang mengerjakan. “Mungkin kamu yang menanam, aku yang menyiram, tetapi sebenarnya Allahlah yang menumbuhkan”, itulah yang dikatakan Firman Tuhan, Amin.

—————————————

Catatan: Data selain kutipan bersumber dari Bapak Samuel Wijaya.

Leave a Reply